SOE HOK GIE dan Gunung Semeru
SOE HOK GIE: Kenangan Kepada Seorang
Demonstran
Enam belas Desember 30 tahun lalu,
Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung
Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir,
penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili
rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman),
Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi
ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim
penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata
Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih
amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya
saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk
mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun
meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan
berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,”
lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru
berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe
sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang
terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa
yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada
situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,”
begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan
antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal
diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian
Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di
benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal,
tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan
letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru)
serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman
saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami
menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang
termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan
tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun
duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua
teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan
batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘
batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari
puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira
kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat
dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar
400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma
beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan
Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore,
hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya.
Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu
kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung.
“Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang
soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan
tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan
berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman
datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides,
kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat
apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe
dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa
lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua,
segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek
segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane,
setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong
kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga
kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke
jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang
sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap.
Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara
berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru
keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh
sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan
kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil
Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut
malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan
bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang
ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda
sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah
lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody
Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah
membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk
tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet
kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk
mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan
berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu
Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum
berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang
biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot
baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di
kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki,
menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana
biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak
cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih
banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau
Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai
pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos
kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta
mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam
pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa
kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe
berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci.
Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru
rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain
lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan
menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan
ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung,
kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat,
pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru,
sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang
tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama
mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini
merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi
kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang
mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah
terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis
bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak
menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain
puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima
surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk
Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak
Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe,
Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik
18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir,
mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau
bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya
tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan
Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak
mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba.
Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di
Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS
Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah
masing-masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati
muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi
hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta
api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan
kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan.
Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya
perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit
sebelum ke Semeru ….”
Soe yang banyak membaca dan sering
diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk
menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962,
ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur
tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia
memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo),
sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar
membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun
binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan
keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan
dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di
tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang
menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya.
Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia
bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa
gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada
banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang
mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya
yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief
sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa
semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap
Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi:
… di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena
voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk.
Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin
tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik
membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti
matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu
apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young
Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan
betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia
Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya
Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga
hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa
Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa
berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih …
kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur
kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe
sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society
in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang
intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca
kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi,
kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia
memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang
Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang
telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik
Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe
menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput
petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!
Dari cuplikan berbagai tulisan Soe,
terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis
begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit
dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun.
Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan
melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang
lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang
lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi
Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan
dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang
berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu
banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi
menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI,
secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam
kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan
mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata
tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam
nada getir, Soe menulis:
… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau
mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas
sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang
duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti
dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di
mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang
dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah.
Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun
di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November
1999), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir
tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan
yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana
Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak
masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam
oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor.
Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan
partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal
bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang
pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966.
Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun
yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa
untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas,
membangun kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell.
Soe memang sudah bersikap. Dia
memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih
bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya
tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara
diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah.
Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran
dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi,
kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama
sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung
makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa
demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul
di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan
pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Sumber : catros.wordpress.com